Kisah
tentang adanya koruptor yang menilep uang negara ratusan miliar, bahkan
triliunan rupiah, sulit dijerat hukum di negeri ini, adalah hal yang
biasa. Demikian juga soal adanya maling ayam yang digebuki sampai mati.
Atau seorang nenek mencuri sebutir semangka di kebun orang, yang
kemudian dijatuhi hukuman berat, meski berdalih lapar, juga merupakan
pemandangan yang biasa. Rasa keadian hukum, yang tidak memihak rakyat
kecil di negeri ini, bukan kisah baru yang luar biasa lagi. Lalu,
apa yang luar biasa dalam soal penerapan hukum di negeri ini? Masih
tersisakah rasa keadilan hukum yang mendengarkan suara rakyat? Ternyata
tetap saja masih ada, penegak hukum yang berhati baik, meski sekarang
ini langka. Simak berita terbaru dari Dumai, Riau, seperti dilaporkan
wartawan Obyektif Cyber Magazine, Nunung Susana langsung dari Riau, baru-baru ini.
Suatu
siang yang panas, di ruang sidang pengadilan, Hakim Marzuki duduk
tercenung menyimak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (PU) terhadap seorang
nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya
miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar, sehingga terpaksa mencuri
singkong untuk makan. Namun manajer PT. AKB Group, yang menguasai kebun
singkong tersebut, tetap bersikeras memperkara-kannya.
Meski melihat mimik nenek tua itu memelas,
tidak terbersit sedikit pun rasa iba. Dengan alasan untuk memberikan
pelajaran dan contoh bagi warga yang lain, si Nenek tetap diperkaran dan
tidak mau mencabut kembali laporannya. Oleh karena itu, Jaksa PU pun
tetap pada tuntutannya, menjerat si Nenek dengan hukuman yang setimpal.
Ruang sidang yang padat pengunjung, yang ingin melihat jalannya sidang
pun jadi gerah.
Hakim
Marzuki menghela nafas dalam-dalam dan air matanya meleleh, saat dia
memutus hukuman di luar tuntutan jaksa PU. Dengan suara tersendat dia
berkata: “Maafkan saya,” katanya sambil memandang si Nenek itu. “Saya
tak dapat membuat pengecualian hukum. Hukum tetap hukum. Jadi maaf Nek,
Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda Rp1 juta dan jika Anda tidak
mampu membayar, maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti
tuntutan jaksa PU,” tuturnya.
Mendengar
hal itu, si Nenek hanya tertunduk lesu. Mungkin saja hatinya remuk
redam. Kemelaratan hidup memang bisa menjerumuskan orang. Sementara itu,
melihat Hakim yang menjatuhkan vonis berleleran air mata, sebagian
pengunjung, terutama kaum wanita juga banyak yang meneteskan air mata.
Ikut larut pada penderitaan si Nenek. Suasana jadi mencekam, hening, dan
mengharukan.
Tidak
berapa lama, Hakim Marzuki mencopot topi toganya. Membuka dompetnya,
kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp1 juta ke dalam topi toganya,
yang sudah dibalik posisinya, serta berkata kepada hadirin: “Saya atas
nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir
di ruang sidang ini. Minimal sebesar Rp.50 ribu rupiah per-orang, sebab
menetap dikota ini, tetapi membiarkan seseorang kelaparan sampai harus
mencuri untuk memberi makan cucunya. Saudara panitera, tolong
dikumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini, lalu berikan semua
hasilnya kepada terdakwa,” katanya.
Sampai
palu diketuk dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itupun
pergi dgn mengantongi uang Rp. 3,5 juta, setelah denda pengadilan Rp.1
juta dilunasi. Uang yang terkumpul dari pengunjung itu, sebenarnya
termasuk Rp.50 ribu yang dibayarkan oleh Manajer PT AKB, yang nampak
tersipu malu, karena telah ngotot menuntutnya.
Sungguh
sayang, kisahnya luput dari liputan pers secara luas. Kisah ini sungguh
menarik, seperti dalam ceritera fiksi saja. Sekiranya ada teman yang
membaca kisah ini, bisa dishare di media lain, untuk menjadi
contoh kepada aparat penegak hukum yang lain, untuk bekerja dengan
menggunakan hati nurani seperti Hakim Marzuki yang dinilai masyarakat
setempat, berhati mulia itu. (Nunung Susana).
Sumber:Nunung Susana, Biro Dumai, Riau, Pada Tanggal : 15 - 03 - 2012 | 22:57:54