11 Mei 2012

HAKIM MENANGIS LIHAT KETIDAKADILAN

Kisah tentang adanya koruptor yang menilep uang negara ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, sulit dijerat hukum di negeri ini, adalah hal yang biasa. Demikian juga soal adanya maling ayam yang digebuki sampai mati. Atau seorang nenek mencuri sebutir semangka di kebun orang, yang kemudian dijatuhi hukuman berat, meski berdalih lapar, juga merupakan pemandangan yang biasa. Rasa keadian hukum, yang tidak memihak rakyat kecil di negeri ini, bukan kisah baru yang luar biasa lagi. Lalu, apa yang luar biasa dalam soal penerapan hukum di negeri ini? Masih tersisakah rasa keadilan hukum yang mendengarkan suara rakyat? Ternyata tetap saja masih ada, penegak hukum yang berhati baik, meski sekarang ini langka. Simak berita terbaru dari Dumai, Riau, seperti dilaporkan wartawan Obyektif Cyber Magazine, Nunung Susana langsung dari Riau, baru-baru ini.


Suatu siang yang panas, di ruang sidang pengadilan, Hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (PU) terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar, sehingga terpaksa mencuri singkong untuk makan. Namun manajer PT. AKB Group, yang menguasai kebun singkong tersebut, tetap bersikeras memperkara-kannya.

Meski melihat mimik nenek tua itu memelas, tidak terbersit sedikit pun rasa iba. Dengan alasan untuk memberikan pelajaran dan contoh bagi warga yang lain, si Nenek tetap diperkaran dan tidak mau mencabut kembali laporannya. Oleh karena itu, Jaksa PU pun tetap pada tuntutannya, menjerat si Nenek dengan hukuman yang setimpal. Ruang sidang yang padat pengunjung, yang ingin melihat jalannya sidang pun jadi gerah.

Hakim Marzuki menghela nafas dalam-dalam dan air matanya meleleh, saat dia memutus hukuman di luar tuntutan jaksa PU. Dengan suara tersendat dia berkata: “Maafkan saya,”  katanya sambil memandang si Nenek itu. “Saya tak dapat membuat pengecualian hukum. Hukum tetap hukum. Jadi maaf Nek, Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda Rp1 juta dan jika Anda tidak mampu membayar, maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU,” tuturnya.

Mendengar hal itu, si Nenek hanya  tertunduk lesu. Mungkin saja hatinya remuk redam. Kemelaratan hidup memang bisa menjerumuskan orang. Sementara itu, melihat Hakim yang menjatuhkan vonis berleleran air mata, sebagian pengunjung, terutama kaum wanita juga banyak yang meneteskan air mata. Ikut larut pada penderitaan si Nenek. Suasana jadi mencekam, hening, dan mengharukan.

Tidak berapa lama, Hakim Marzuki mencopot topi toganya. Membuka dompetnya, kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp1 juta ke dalam topi toganya, yang sudah dibalik posisinya, serta berkata kepada hadirin: “Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini. Minimal sebesar Rp.50 ribu rupiah per-orang, sebab menetap dikota ini, tetapi membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya. Saudara panitera, tolong dikumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa,” katanya.

Sampai palu diketuk dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itupun pergi dgn mengantongi uang Rp. 3,5 juta, setelah denda pengadilan Rp.1 juta dilunasi. Uang yang terkumpul dari pengunjung itu, sebenarnya termasuk Rp.50 ribu yang dibayarkan oleh Manajer PT AKB, yang nampak tersipu malu, karena  telah ngotot menuntutnya.

Sungguh sayang, kisahnya luput dari liputan pers secara luas. Kisah ini sungguh menarik, seperti dalam ceritera fiksi saja. Sekiranya ada teman yang membaca kisah ini, bisa dishare di media lain, untuk menjadi contoh kepada aparat penegak hukum yang lain, untuk bekerja dengan menggunakan hati nurani seperti Hakim Marzuki yang dinilai masyarakat setempat, berhati mulia itu. (Nunung Susana).

Sumber:Nunung Susana, Biro Dumai, Riau, Pada Tanggal : 15 - 03 - 2012 | 22:57:54